Mungkin melenceng dari tema blog yang imbisil. Tapi gw ingin berbagi sedikit tentang apa saja yang pernah gw tulis.
(Yogi B. Avian)
Lizzy tersentak dari lamunan ketika sehelai daun maple berwarna kemerahan jatuh menimpa keningnya. Musim gugur tahun ini seolah datang terlalu cepat. Langit di atasnya masih membiru cerah dan bernoda kilau matahari. Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang gadis kecil menggesek biolanya memainkan Ode to Joy Beethoven di hadapan seorang lelaki tua berambut perak. Lizzy sudah sering melihat mereka namun selalu iri melihat kehangatan yang terpancar di mata kakek dan cucu itu. Mereka sama sekali tak terusik oleh musim gugur yang menyelinap diam-diam di balik dedaunan maple. Lizzy termenung, dipungutnya daun maple yang tadi jatuh. Ia merasa nasibnya kini seperti daun itu. Jatuh, mengering dan terbuang percuma. Ia mendesis pelan.
Sore ini Central Park relatif sepi. Hanya ada beberapa orang lalu lalang sebentar untuk menikmati sejuknya tepi danau atau sekedar berfoto jembatan di sungai kecil yang berada di tengah taman ini. Diantara pengunjung itu, selalu ada pasangan muda-mudi yang sedang berkencan. Central Park memang sangat tepat untuk jadi
setting kisah cinta. Lizzy menerawang ke arah pepohonan yang mulai meranggas. Warna coklat kemerahan menjadi pemandangan indah sore itu. “
Andai dia ada disini,” gumam Lizzy. Ia mengambil nafas panjang dan dihembuskannya dengan berat. Ditatapnya buku sketsa di tangan kirinya. Matanya berkaca-kaca. Buku itu membawa putaran ingatan kembali ke masa lalunya.
***
“Dylan.. Bangun!” pinta Lizzy sambil memantikkan korek api ke rokoknya. Ia menghela nafas sebentar sambil menikmati asap rokok sampai ke kerongkongannya.
Dylan masih tertelungkup di ranjangnya. Tangannya bergelayut di ujung ranjang. Ia hanya mengenakan celana pendek dan kemeja hitam. Di samping kanannya terdapat sebuah bong penghisap shabu. Mereka baru berpesta semalam.
“
Honey, kamu mau ketangkap basah dengan bongmu yang murahan itu? Ayolah, kalau kita tertangkap, kita harus dalam keadaan elit.” Lizzy tersenyum sambil terus memainkan asap rokoknya hingga membentuk lingkaran. Satu lingkaran tiba-tiba berubah menjadi bentuk hati. Ia tersenyum puas.
Dylan membuka matanya perlahan. Ia membalikkan tubuhnya. Wajahnya sangat kacau. Rambut ikalnya berantakan. Matanya yang biru bulat sama sekali tak bercahaya. Ia menguap, melihat ke Lizzy, lantas memejamkan matanya lagi.
“Okey, kalau kau tak bangun, aku akan pergi sendiri pagi ini.” Lizzy mematikan rokoknya di asbak. Sempat terlintas untuk menyulutkan rokoknya ke tubuh Dylan. Tapi dia cukup waras untuk tidak bermain-main dengan seorang yang sedang mabuk shabu.
“Kau mau kemana Liz?” Dylan bertanya ogah-ogahan. Matanya masih terpejam. Nyawanya belum terkumpul benar, bahkan untuk sekedar membuka mata.
“Kemana? Kau masih bertanya? Kau lupa dengan telepon dari Lelaki Tua itu kemarin? Ibu sakit Dylaaaan.” Wajah Lizzy merah padam, emosinya meledak. “Aku tidak akan lupa pada Ibuku walau kini aku jadi pendosa,” sambung Lizzy. Ia mulai mengemasi barang-barangnya. Ia sudah rindu benar dengan kampung halamannya di East Village, di timur kota New York.
“Maaf Liz, aku lupa, bong-bong itu sudah membuatku melayang. Kuharap kau memakluminya.” Dylan bangkit dari ranjangnya. Tangannya menggapai celana jeans denim yang berserak di lantai.
Lizzy tersenyum. Ia sadar, sebagai sesama pemakai, ia tahu benar apa yang sedang dialami oleh pasangan, belahan jiwa dan
partner in crimenya itu. Mereka sudah lama hidup bersama tanpa ikatan yang jelas. Mereka hanya bermodal cinta dan saling percaya. Bagi mereka, ikatan cinta akan lebih kuat dari ikatan apapun asalkan individunya berkomitmen. Mereka juga percaya, bahwa cinta diantara mereka tak akan menua seiring berjalannya waktu. Lizzy membutuhkan Dylan seperti Dylan membutuhkan narkoba, begitu sebaliknya. Seperti semboyan mereka,
Love is A Drug.
“Okey honey, segera singkirkan bong-bongmu itu. Kau tak ingin kita membusuk di penjara kan?” Ujar Lizzy sambil terus mengemasi barang-barangnya. “Hey, kau mau ke rumahku dengan penampilan seperti itu? Lelaki Tua itu akan mengusirmu dari rumah,” cerca Lizzy sambil memperhatikan penampilan Dylan yang mirip personil grup band metal.
“Ayolah, sejak kapan kau peduli dengan fashion? Dan lelaki tua itu, tentu dia tak akan marah bila kubawakan dua botol
whine.” Dylan tertawa kecil. Ia tahu, Lizzy tak akan marah bila ia mengolok-olok ayahnya, asalkan tidak sekali-kali ia menghina ibunya. Liz mencintai ibunya lebih dari apapun. Bahkan lebih dari cintanya pada Dylan, atau narkoba.
“
Whatever, kau memang pandai mencuri hati Lelaki Tua itu,” jawab Lizzy dengan tak acuh. Sudah lama ia menyebut ayahnya dengan sebutan “
Lelaki Tua”. Sejak ia memergoki ayahnya itu selingkuh dengan tetangganya, Lizzy sudah tak menaruh hormat lagi pada Ayahnya itu. Ia pun tak sampai hati menceritakan kejadian itu pada ibunya. Liz tahu, ibunya sangat rapuh. Sakit jantung ibunya bisa menyerang kapan saja, apalagi bila diberi pemicu. Ia tidak ingin berita itu menjadi pemicunya.
***
Sebuah Chevrolet Silverado dengan bak belakangnya yang kosong memasuki halaman apartemen sederhana di sebuah desa di
East Village. Ada dua pohon
birch di depan bangunan itu. Sebuah cabang pohon mulai tumbuh hingga ke sebuah jendela lantai dua apartemen. Jendela itu adalah jendela kamar keluarga Lizzy.
“Kau yang ketuk pintunya,” suruh Dylan pada kekasihnya.
“Kenapa tidak kau?” Lizzy tersenyum.
“Kau masih ingat saat Lelaki itu membentakku saat aku terlalu keras mengetuk pintu. Aku tak ingin terjatuh di lubang yang sama, hehehe,” Dylan terkekeh.
“Hanya keledai yang seperti itu honey,
and you’re even worse than a donkey,” Lizzy menjulurkan lidahnya pada Dylan disambut dengan sebuah cubitan Dylan di pinggangnya.
Tok tok tok. Lizzy mengetuk pintu pelan. Ada suara berjingkat dari dalam rumah.
Pintu terbuka dan seorang lelaki berjenggot putih membuka pintu sambil membenarkan kacamata bulatnya. Lelaki itu mirip santa, hanya saja dengan setelan baju piyama.
“Oh, kau Liz,” Lelaki itu melihat Lizzy sepintas lalu berpaling. Sama sekali ia tak memperhatikan Dylan.
“Bagaimana keadaan ibu?” Lizzy bertanya pada ayahnya.
“Hmm..” lelaki itu menggumam, seperti ada sesuatu yang berat untuk diucapkan. “Ibumu terbaring di ranjang sejak tiga hari lalu, dia sangat lemah,” lelaki itu merebahkan tubuhnya di sofa. Diambilnya sebuah cangkir berisi kopi yang sudah dingin dan diminumnya sedikit.
Lizzy meninggalkan Ayahnya dan bergegas ke kamar ibunya diikuti Dylan yang mengekor saja.
Kamar itu begitu pengap. Tak ada lampu. Cahaya yang masuk hanyalah dari jendela kamar, yang sialnya juga sedikit terhalang oleh cabang pohon
birch dari luar. Di sudut kanan kamar ada sebuah ranjang kecil yang ditempati seorang wanita tua. Wanita itu membelakangi pintu. Lizzy berlari mendekat.
“Liz, kaukah itu?” tanya ibunya tanpa membalikkan badannya.
Lizzy diam. Air matanya meleleh.
“Lisa, itu pasti kau. Kesinilah nak! Ibu baik-baik saja,” Ibu Lizzy membalikkan badan dengan susah payah, dibantu oleh Lizzy yang langsung memeluk Ibunya.
Dylan keluar dari kamar itu. Dia tak tahan.
***
“Liz, ibumu harus dibawa ke dokter,” kata Dylan dengan penuh perhatian. Dari tadi Lizzy tak berhenti menangis. Bahu Dylan sudah basah dengan air mata.
“Rumah sakit? Kau pikir kita kaya?” Lizzy menatap Dylan dengan wajah penuh air mata.
Dylan mengusap air mata kekasihnya. “Tenanglah, tangisanmu tak akan merubah apapun,” Dyalan menenangkan.
“Lantas? Aku hanya punya air mata. Aku tak punya apa-apa.” Lizzy terus menangis sesenggukan.
“Kau lupa? Kau punya aku Liz.” Dylan memeluk Lizzy erat. “Love is a drug, kau lupa?”
Lizzy tak menjawab. Hanya kepalanya menggeleng di bahu Dylan.
“Kita akan selalu bersama, kau bergantung padaku dan aku bergantung padamu,
you addicted to me, and so do i,” tambah Dylan.
Lizzy menghapus air matanya sendiri. “
Thanks honey,” jawabnya sambil sedikit tersenyum. “Tapi apa yang harus kita lakukan?”
“Aku akan bekerja,” Dylan menjawab mantab. Mata birunya tiba-tiba menyala terang. Ada semangat di balik sinar itu.
“Kau? Kerja apa?” Lizzy mengernyitkan dahinya.
“Seperti dulu, aku akan melakukannya.” Dylan menjawab masih dengan mata menyala-nyala.
“Narkoba?” Lizzy kembali menangis, dipeluknya erat pinggang Dylan. “Kau sudah berjanji padaku untuk tidak melakukannya lagi
Honey,”
“Demi Ibumu, demi kau. Aku tak ingin melihatmu bersedih,” Dylan menjawab diplomatis.
“Tapi aku akan lebih sedih melihatmu kembali menjadi kurir. Cukuplah kita jadi pemakai. Aku tak ingin melihatmu membusuk di penjara,” Lizzy terus menangis sambil memeluk pinggang kekasihnya.
“Aku tahu kau Liz,
your mother is everything, kau kira aku tak tahu?” Dylan menatap Lizzy erat. Dilepaskannya tangan Lizzy yang melingkar dari pinggangnya. “Percaya padaku Liz, ini yang terakhir. Untuk ibumu.”
“Tidak Dylan, aku tak akan membiarkanmu melakukannya lagi. Kau sudah berjanji demi hubungan kita.” Dylan menangis sesenggukan.
“Kau tak ingat saat aku juga berjanji akan melakukan apapun agar kau bahagia,” Dylan membela diri.
“Tapi aku tak akan bahagia jika kau melakukannya Dylan,” Lizzy mengguncang bahu kekasihnya.
“Aku tahu, kau akan bahagia melihat Ibumu sembuh.” Dylan meyakinkan Lizzy dengan sikapnya yang kepala batu.
Air mata Lizzy mengalir lebih deras.
***
“Kau hanya harus memberikan ekstasi ini pada seorang China. Kau harus menemuinya di Madison Avenue saat Macy’s Day Parade nanti di depan Mc Donald. Jangan buat orang curiga. Bekerjalah dengan bersih,” Ucap seorang bertubuh gempal yang menjadi bos Dylan dalam urusan narkoba. Dylan memberikan uangnya sebagai jaminan tebusan barang itu. Dengan bagitu, uang dari si Cina bisa langsung jadi miliknya tanpa setor lagi ke bosnya. Dylan adalah kurir andalan dari bosnya sebelum akhirnya ia berkeputusan untuk angkat kaki dari dunia ini. Sejak mengenal Lizzy, Dylan perlahan ingin menata hidupnya yang sudah berantakan.
“Ya, aku tak akan mengecewakanmu,” Dylan menerima bungkusan kuning sebesar coklat batangan itu dengan tangan kanannya. Ia memasukkan barang haram itu ke kantong jaketnya.
“Kuharap begitu,” jawab bos Dylan dengan dingin.
“Ini akan mudah Liz, ibumu akan sembuh, percayalah,” ucap Dylan dalam hati.
Setelah mendapat bungkusan itu, Dylan bergerak menuju Madison Avenue. Pengunjung sudah ramai karena parade balon di acara
Macy’s Day Parade sudah mulai diarak.
Dylan menyelinap diantara kerumunan orang saat balon berbentuk Scooby-Doo lewat. Ia berusaha setenang mungkin agar tak ada seorang pun melihatnya. Musim gugur kali ini begitu meriah. Semua orang sibuk dengan keramaian ini dan tak ada yang peduli dengan tingkah aneh Dylan yang dari tadi celingukan.
Cukup sulit menemukan seseorang diantara parade ini. Ciri-ciri yang ia kantongi dari bosnya hanyalah, pria itu gemuk, berwajah oriental dengan kumis ala kaisar China dan bertuxedo hitam. Dan beribu-ribu orang mengenakan tuxedo hitam hari itu.
Dylan berhenti di pembatas bangunan Mc Donald dan Theater Broadway. Hatinya berdegup kencang. Sudah lebih dari tiga bulan ia dan Lizzy berjanji untuk sesegera mungkin meninggalkan narkoba. Mereka ingin hidup normal. Di benaknya terbayang saat ia dan Lizzy membuang bong penghisap shabunya dan membakarnya dengan suka cita. Lizzy adalah segalanya bagi Dylan. Wanita itulah yang menemaninya saat sedang terpuruk, membangkitkan semangatnya saat sakaw, dan memberinya senyuman saat ia sedih. Liz, dan wajahnya yang ceria membuat Dylan tak sanggup membayangkannya lebih dalam. Ia ingat saat suatu hari di Central Park kekasihnya ingin dilukis diantara indahnya musim gugur. Musim gugur adalah favorit mereka.
“Apa kau sudah selesai Dylan,” tanya Lizzy saat itu. Wajahnya dibuat seimut mungkin agar gambar yang dihasilkan Dylan jadi bagus. Dylan masih ingat benar waktu itu, lengkap dengan suasana hening yang membuat Central Park seolah milik berdua.
“Sebentar, aku masih mencari
angle yang pas,” Dylan memicingkan matanya. Bergaya seolah menjadi pelukis profesional. Walau sebenarnya ia hanya menggambar wajah Lizzy dengan pensil dan buku catatannya.
“Dylan..
you know? Aku sudah mati gaya sejak kamu melihatku dalam-dalam seperti itu,” Lizzy tersenyum genit sambil terus memainkan rambut sebahunya. Angin semilir menerbangkan ujung-ujung rambutnya.
Tiba-tiba seorang lelaki gemuk bermata sipit membuyarkan lamunan Dylan. Lelaki itu menenteng tuxedo di tangannya. Suasana memang begitu gerah bagi seseorang untuk mengenakan Tuxedo lengkap. Ada perasaan aneh saat ia melihat lelaki itu. Ia merasa diawasi.
“Sekali ini, demi Lizzy, aku harus menghapus pikiran negatif,” Dylan meyakinkan hatinya. Ia tak tahu kenapa ia jadi canggung seperti baru pertama menjadi kurir. Terlebih bayangan Lizzy selalu lewat di benaknya.
Lelaki itu menatap Dylan dan memberi sedikit kode. Dylan paham betul, hanya orang profesional yang menggunakan kode itu. Dirogohnya barang pesanan lelaki itu di dalam saku jaketnya. Tangannya perlahan mengeluarkan barang itu dan menukarnya dengan bungkusan uang. Saat uang akan dimasukkan ke jaketnya, sebuah tembakan ke udara meletus mengagetkan Dylan.
Dorrr..
“Tangkap dia!” perintah seorang yang dari tadi membaca koran di tepi jalan. Dylan dijebak. Beberapa interpol mengejarnya. Posisinya terjepit sekarang.
Reflek Dylan berlari kencang menembus kerumunan orang yang menyaksikan parade akbar ini. Dylan berbelok ke tikungan disebelah bangunan
Time Square Church saat balon Pikachu diarak. Keramaian ini menguntungkan Dylan karena ia bisa menghilang diantara kerumunan orang. Tapi Dylan tahu benar, interpol sudah mengantongi foto wajahnya, dan mereka bukan orang-orang yang gampang menyerah.
Pikiran Dylan kacau. Kini satu yang ia tahu, menyerahkan uang itu pada Lizzy dan pergi jauh dari Lizzy. Ia tak ingin kekasihnya ikut terlibat.
***
Lizzy bangun dengan mata sayu. Ia tak berhenti menangis semalam. Dylan tak dapat dihubungi, ponselnya mati dan tak ada yang tahu keberadaannya.
Lizzy bangkit dari ranjangnya dan meraih ponselnya. Tangannya tak sengaja menjatuhkan sebuah buku catatan Dylan. Liz meletakkan ponselnya dan meraih buku itu.
Di halaman paling depan, ada seraut wajah Lizzy yang dihiasi meranggasnya pohon mapel saat musim gugur tahun lalu di Central Park. Lizzy tersenyum sebentar dan mengingat saat itu.
“Liz, aku berhasil menggambarmu,” seru Dylan samar-samar dalam ingatan Lizzy.
“Semoga kau tak menggambar Yogi Bear lagi seperti kemarin.” Lizzy beranjak dari kursi taman dan mendekati Dylan yang bersandar di pohon mapel.
“Percayalah, ini sempurna,” kata Dylan dengan wajah yakin.
Lizzy tak ingat kejadian selanjutnya. Yang ia ingat, setelah gambar itu selesai, Dylan menuliskan catatan di bawah gambar itu, dan itu masih ada.
Cinta tak akan menua seperti waktu menuakan kita. Demi pohon-pohon mapel dan angin semilir musim gugur, aku akan menjagamu Liz. Coz Love is A Drug.
Lizzy merinding melihat catatan itu. Dipeluknya buku itu sambil melihat sekeliling kamar. Begitu berantakan. Di bawah pintu ada sebuah bungkusan plastik. Sepertinya benda itu asing. Lizzy berjingkat mendekatinya. Dipungutnya plastik hitam itu, membukanya dan terkejut setengah mati.
Plastik itu berisi uang Dolar yang jumlahnya bahkan bisa membeli tiga mobil chevroletnya. Di dalam plastik itu ada sebuah kertas buram berisi tulisan yang dengan segera ia kenali penulisnya.
“Dylan, dia yang mengirim ini,” kata Lizzy dalam hati.
Lizzy membaca tulisan itu dengan air mata menumpuk di ujung matanya.
Dear Lizzy, maaf karena aku keras kepala, segera bawa ibumu ke rumah sakit dan jangan tanyakan keberadaanku. Bila aku masuk surat kabar atau mati membusuk di parit, jangan sesekali kau meneteskan air mata. Berjanjilah Liz. Aku sayang kamu. Love is A Drug, kau paham itu.
Disapunya linangan air mata yang tak sempat ditahannya. Tak bisa ia bendung air matanya.
***
Hari begitu lambat berlalu sejak pengobatan ibu Dylan berhasil. Ibunya sudah dapat beraktivitas walau masih lemah. Wanita tua itu hanya butuh beberapa kali terapi lagi untuk kesembuhannya. Lizzy sangat senang. Cintanya pada Dylan sudah mendekati angka tak hingga.
Kadang ia menangis mengingat kekasihnya. Tak ada kabar, dan ia sengaja tak ingin mencari kabar. Lizzy tak ingin mendengar kabar buruk. Ia hanya membiarkan Dylan menjadi sebuah puzzle tak terungkap.
Di tengah sejuknya angin musim gugur Lizzy tersenyum. Tangannya mendekap buku sketsa milik Dylan di dadanya. Tak ada lagi penyesalan mengendap di hatinya. Musim gugur kali ini telah mengingatkannya pada hal terindah yang pernah dimilikinya.
Thanks, Dylan.
You’re always gonna be my autumn.
Ponorogo, 1 Februari 2011