“Kalau nggak ada buku yang dikasih dari penyelenggara, kalau bisa jangan beli buku dulu ya! Nanti mubazir..” (salah seorang pengambil apel BDK Denpasar)
Sebuah kata yang niatnya mengayomi, tapi jatuhnya malah dipertanyakan. Semua mengerti bahwa yang ingin beliau sampaikan adalah agar anak didik tidak keluar banyak uang untuk pendidikan. Tapi adakah dalam pemikiran logis bahwa “beli buku”, lantas mubazir. TIDAK ADA. Bagaimanapun akan nada ilmu dari buku apapun. Dari buku kama sutra sekalipun. Akan ada informasi tambahan yang kita dapatkan dan akhirnya ilmu juga otomatis akan bertambah.
Inilah yang salah di negeri kita. Orang tua menganggap, buku-buku sastra, baik novel, cerpen, puisi, atau buku-buku yang tidak dalam konteks pelajaran itu adalah racun. Mereka berpikiran, buku itu adalah racun. Bisa memecah konsentrasi belajar. Sesuatu yang salah besar. Kenapa?
Karena Buku-buku sastra justru akan menstimulasi otak untuk berimajinasi. Dari imajinasi kemudian muncul pandangan, entah pandangan dalam sudut pro ataupun kontra terhadap apa yang ditulis si penulis. Dari pandangan itu kemudian muncul sikap. Nah, dari sikap itulah kemudian mutu individu akan terlihat. “You Is What You Read”.
Karena Buku-buku sastra justru akan menstimulasi otak untuk berimajinasi. Dari imajinasi kemudian muncul pandangan, entah pandangan dalam sudut pro ataupun kontra terhadap apa yang ditulis si penulis. Dari pandangan itu kemudian muncul sikap. Nah, dari sikap itulah kemudian mutu individu akan terlihat. “You Is What You Read”.
“..Soalnya buku-buku Pajak dan Bea Cukai itu biasanya gampang berubah peraturannya. Nanti bukunya kan nggak ada gunanya. Kalaupun mau beli, saya sarankan beli satu, terus diperbanyak, biar murah.” (lanjut salah seorang pengambil apel BDK Denpasar)
Yap. Peraturan boleh sudah berubah. Tapi manfaat buku di dalamnya tidak akan pernah berubah. Bisa jadi suatu hari buku itu akan dicari lagi, karena perubahan Undang-Undang yang telah dilakukan tidak sesuai, atau mungkin buku itu akan jadi acuan terhadap peraturan-peraturan mendatang. Kita diajari bertindak tidak berpikir jauh ke depan. Kita dicekoki pandangan bahwa buku itu hanya digunakan di kala itu saja. Setelah itu, berakhir di lemari, atau bahkan dijual di penjual barang bekas. Miris.
Poin kedua yang perlu dikritisi adalah bagaimana seorang yang dituakan, yang sejatinya menjadi panutan, justru mengajak untuk melakukan pembajakan buku. Ya, salah satu yang membuat penulis muda Indonesia jarang muncul adalah, masih maraknya pembajakan. Betapa orang di negeri ini tidak menghargai suatu karya. Ketika penulis atau penghasil karya yang lain berpeluh-peluh memperjuangkan karyanya agar terbit luas, ternyata sampai di pasar, bukunya Cuma dibeli satu untuk digandakan massal. Sungguh terrrllaluu.
Untuk itu, marilah kita sedikit berubah. Merubah pandangan kita. Ketika karya kita, dalam ulangan saja, dihargai lebih rendah dari karya teman kita, pasti kita akan kecewa. Ketika teman yang mencontek kita, kemudian mendapat nilai lebih, atau sama dengan kita. Bukankah kita kesal?
Lalu bagaimana dengan karya-karya yang telah kita bajak? Maka mari, budayakan membeli buku, membaca buku, dan mulai menulis buku. Sesuai perintah ayat pertama Al-Qur’an, “Iqra’, bacalah!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar