Kamis, 05 Januari 2012

Merubah Main Set Blog

Ane pengen merubah main set blog ini. dari yang semula hanya blog diary haha-hihi, menjadi jadi blog  haha-hihi tapi sedikit agak kritis. hehe

Soalnya kemaren ane dapet tugas nulis essay. dan hasilnya gak malu-maluin kalo dipajang disini. Akhirnya oke dah ane posting!!

Cekidot
Antara Perfilman Indonesia, Pendapatan dan Idealisme

                Tahun ini, dunia perfilman Indonesia sedang dalam tingkat produktivitas yang tinggi. Dari situs filmindonesia.or.id, didapat data ada 86 judul film baru sepanjang tahun 2011. Dari banyak film itu,
ternyata yang dinominasikan sebagai film-film terbaik di Festival Film Indonesia ternyata hanya 14 judul.
                Lagi-lagi timbang menimbang keuntungan lah yang melatari fenomena ini. Produsen film lebih suka membuat film ecek-ecek, dibumbui dengan adegan syur, yang memerlukan biaya relative lebih murah (yang sayangnya juga mendapat sambutan yang juga antusias) daripada membuat film idealis yang berkualitas, namun akhirnya penontonnya sepi.
                Produsen film sangat bergantung pada pengusaha bioskop sebagai ladang penghasilan nomor wahid di dunia perfilman. Namun sayangnya, bioskop kini cenderung lebih sering memutar film manca daripada memutar film dalam negeri, terlebih sejak larangan edar film Hollywood telah dicabut. Film dalam negeri biasanya hanya mendapat satu tempat diantara empat judul yang diputar, bahkan tidak sama sekali. Alasannya
kongkret, peminat film Indonesia  sangat sedikit.
                Apabila ladang dari dunia bioskop “gagal panen”, lantas produsen akan berpikir cepat mencari penghasilan dengan menjual filmnya ke televisi. Bila ada anggapan, “buat apa liat film indo di bioskop, toh 3-4 bulan lagi disiarkan di tv”, itu mungkin memang benar, karena dari situlah opsi terakhir pendapatan sineas, selain penjualan cd dan dvd yang jumlahnya tak seberapa.
                Dari alas an takut merugi,Alhasil di Indonesia terjadi penumpukan genre film. Film-film homogen beredar di pasar. Sebut saja film yang mengekor Laskar Pelangi dengan tema From zero to hero, film ketika cinta bertasbih yang bernafaskan islam, dan tentu film hantu haha-hihi yang berbau mesum. Dampaknya, penikmat film mulai jenuh, dan mulai meninggalkan dalam negeri.
                Uraian singkat inilah yang kemudian membuat tidak banyak pebisnis mau terjun di bidang perfilman. Sebuah tabel di buku Menjegal Film Indonesia (hal.145-146) menunjukkan, jika sebuah film memperoleh pendapatan kotor Rp 2 miliar dari bioskop, keuntungan bersihnya hanya sekitar Rp 1 miliar. Dengan biaya produksi Rp 3,5 miliar, film itu merugi nyaris Rp 2,5 miliar—bahkan setelah dihitung pendapatan dari VCD/DVD dan hak siar TV. (tabloid femina)
                Maka jangan juga salahkan pelaku perfilman bila akhirnya terjun juga membuat film tidak bermutu yang kadang bahkan juga ditambahi artis film dewasa luar negeri untuk menjadi daya tarik. Bila masih terjadi pembajakan dan harga sebuah karya hanya dipandang sebelah mata, maka hal ini mungkin akan terus menerus terjadi.
                Namun pecinta film Indonesia tak perlu khawatir. Pasti akan nada sineas film Indonesia yang tetap membuat film berkualitas. Kalau tidak laku? Itu urusan belakangan. Mereka terus membikinnya karena hati mereka tidak punya pilihan lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar